Rabu, 10 Desember 2014

RONGGO WARSITO

MENGENAL RONGGO WARSITO

 
Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di SurakartaJawa Tengah15 Maret 1802 – meninggal di Surakarta,Jawa Tengah24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.

Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.

Riwayat Masa Muda
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.

Puncak Kejayaan Karier
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian. Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.

Misteri Kematian

Patung Rangga Warsita di depan museum Radya Pustaka, Surakarta

Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukungPangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubunganPakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
  
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajatiyang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan TrucukKabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.

Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:


amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.


Yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada


Dari karya-karya Ronggowarsito, akan kelihatan bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kepustakaan Islam kejawen, tradisi dan kepustakaan Jawa.  Pembahasan dan pemikiran Ronggowarsito, terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok pemikiran yang terdapat dalam perbendaharaan kepustakaan Jawa dan Islam kejawen. Sehingga karya-karya Ronggowarsito pada umumnya mencerminkan perpaduan antara alam pikiran Jawa dengan ajaran Agama Islam. Karena kehidupan Ronggowarsito dan pujangga-pujangga Jawa pada umumnya berada dalam kedua lingkungan kebudayaan tersebut, sesudah zaman kerajaan Jawa-Islam. Walaupun pada hari-hari tuanya Ronggowarsito banyak bergaul dengan sarjana-sarjana Belanda yang mempunyai perhatian terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa, seperti dengan C.F. Winter, Cohen Stuart dan sebagainya. Tetapi, pergaulan ini tidak banyak memberi bekas dalam pemikiran Ronggowarsito.

Ronggowarsito yang hidup semenjak tahun 1802 sampai tahun 1873, dengan sendirinya mengalami berbagai macam pergolakan dan perubahan-perubahan suasana politik dalam lingkungan istana.  Setiap perubahan sikap politik dalam hubungan dengan pemerintahan kolonial Belanda, langsung atau tidak langsung pasti mempengaruhi kedudukan pejabat-pejabat istana.

Karena melihat korupsi yang terjadi di istana dan masyarakat, serta berbagai tindakan amoral dan keadaan yang memprihatinkan di masyarakatnya, Ronggowarsito yang berperan sebagai pujangga istana serta penyambung lidah rakyat kemudian menuliskan keadaan zamannya tersebut dalam bentuk karya sastra.
Menurut Ronggowarsito, ada tiga macam pembagian zaman. Yakni zaman edan atauKalatidha yaitu ditandai dengan adanya pola pikir yang salah. Hal ini diungkapkan dalamSerat Kalatidha sebagai berikut:
Amenangi jaman edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya kaduman melik/kaliren wekasanipun/dilalah karsa Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya:
Mengalami zaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut menggila tidak tahan, kalau tidak ikut (menggila), tidak (akan) mendapat bagian, akhirnya (mungkin) kelaparan, (tetapi) takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya (orang) yang lupa, (masih) bahagia yang sadar dan waspada.
Kemudian akan diiukuti oleh Zaman Kalabendu yaitu moralitas semakin merosot disebabkan oleh pola pikir yang salah. Hal ini terdapat dalam Serat Sabda Jati sebagai berikut:

Para janma jaman pakewuh, kasudranira andadi,
daurune saya ndarung,
keh tyas mirong murang margi,
kasetyan wus ora katon.
Orang-orang dalam zaman pakewuh (edan), kerendahan budinya makin menjadi-jadi, kekacauan bertambah, banyak orang berhati sesat (buruk), melanggar peraturan yang benar, kesetiaan sudah tiada terlihat.
Yen kang uning marang sajatining kawruh,
kewuhan sajroning ati yen tan niru ora arus,
uripe kaesi-esi,
yen nirua dadi asor.
Bagi orang yang tahu akan kebenaran, dalam hati terasa ewuh (bingung), apabila tidak turut berbuat sesat, hidupnya akan menjadi merana, kalau ikut menjadi rendah budi pekertinya.
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung,
anggelar sakalir-kalir,
kalamun temen tinemu,
kabegjane anekani,
kemurahaning Hyang Manon.

Tindakan seperti itu, berarti tak percaya akan kemurahan dan kekuasaan Tuhan, yang menciptakan segala-galanya. Apabila memohon dengan bersungguh hati, pasti mendapat anugerah dari kemurahan Tuhan.
Anuhoni kabeh kang duwe panyuwun,
yen temen-temen sayekti,
Allah aparing pitulung,
nora kurang sandhang bukti,
saciptanira kalakon.
Tuhan mengabulkan semua permohonan, apabila disertai kesungguhan, Allah pasti memberi pertolongan, tidak akan kekurangan makan serta pakaian. Segala yang diingini akan terlaksana.
Lalu kemudian akan muncul Zaman Kalasuba atau zaman keemasan. Datangnya masa keemasan sebagai akhir kalabendu, terdapat dalam Serat Jakalodhang, sebagai berikut:
Sangkalane maksih nunggal jamanipun,
neng sajroning madya akir,
Wiku sapta ngesthi ratu,
ngadil pari marmeng dasih,
ing kono karsaning Manon.
Ciri waktu pada zaman itu, yakni pada pertengahan, dengan ciri tahun; wiku sapta ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang merata, demikian kehendak Tuhan.

Tinemune wong ngantuk anemu kethuk,
malenuk samargi-margi,
marmane bungah kang nemu,
marga jroning kethuk isi,
kancana sosotya abyor.
Waktu itu orang yang sedang mengantuk, sambil duduk saja mendapat kethuk (menemukan benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan-jalan. Orang yang mendapat riang-gembira, lantaran di dalamnya berisi emas permata yang bergemerlapan.
Itulah sekilas pemikiran Ronggowarsito mengenai zaman edan yang dituangkan dalam beberapa karya sastranya. Di dalam karya tersebut terdapat banyak sekali ajaran moral yang dapat diterapkan dalam konteks zaman sekarang ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RPP Kelas V - Tema 1 Sub.Tema 1 Pemb.1

                               RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) KURIKULUM 2013 REVISI 2018    TEMA 1 ....