MENGENAL RONGGO
WARSITO
Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 – meninggal
di Surakarta,Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71
tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai
pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Asal-Usul
Nama aslinya
adalah Bagus Burhan. Ia
adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita.
Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II,
pujangga utama Kasunanan Surakarta.Ayah Bagus Burhan merupakan
keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah
keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki
Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Riwayat Masa Muda
Sewaktu muda Burhan
terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada
Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo).
Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah
kembali ke Ponorogo,
konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga
berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta,
Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV).
Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom
tanggal 28 Oktober 1819
Pada masa
pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burhan
tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto
yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah
dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat
di Kediri.
Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon,
Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk
mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar
Sidalaku.
Puncak Kejayaan Karier
Bagus Burhan diangkat
sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito,
menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah
kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana
VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah
Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana
VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung
dengan berbagai macam ilmu kesaktian. Naskah-naskah babad cenderung bersifat
simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia
dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita
peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Misteri Kematian
Patung
Rangga Warsita di depan museum Radya Pustaka, Surakarta
Pakubuwana IX naik
takhta sejak tahun 1861.
Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukungPangeran Diponegoro. Konon, sebelum
menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih
dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai
kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau
membocorkan hubunganPakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.
Meskipun
demikian, Belanda tetap
saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa
Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang
menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita
dengan Belanda juga
kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter,
Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda.
Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat
membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin
tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar
Bramartani tahun 1870.
Ranggawarsita meninggal
dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam
karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajatiyang ia tulis sendiri. Hal
ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati,
sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang
berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979).
Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau
Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal
hari kematiannya sendiri.Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten
Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia,
yaitu Soekarno dan Gus Dur pada
masa mereka menjabat.
Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan
konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat
Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu
bait yang paling terkenal adalah:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang
lali,
luwih begja kang éling
klawan waspada.
Yang
terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam
bertindak,
ikut gila tidak akan
tahan,
tapi kalau tidak
mengikuti (gila),
tidak akan mendapat
bagian,
kelaparan pada
akhirnya,
namun telah menjadi
kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya
orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang
yang tetap ingat dan waspada
Dari karya-karya
Ronggowarsito, akan kelihatan bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
kepustakaan Islam kejawen, tradisi dan kepustakaan Jawa. Pembahasan
dan pemikiran Ronggowarsito, terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok
pemikiran yang terdapat dalam perbendaharaan kepustakaan Jawa dan Islam
kejawen. Sehingga karya-karya Ronggowarsito pada umumnya mencerminkan perpaduan
antara alam pikiran Jawa dengan ajaran Agama Islam. Karena kehidupan Ronggowarsito
dan pujangga-pujangga Jawa pada umumnya berada dalam kedua lingkungan
kebudayaan tersebut, sesudah zaman kerajaan Jawa-Islam. Walaupun pada hari-hari
tuanya Ronggowarsito banyak bergaul dengan sarjana-sarjana Belanda yang
mempunyai perhatian terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa, seperti dengan C.F.
Winter, Cohen Stuart dan sebagainya. Tetapi, pergaulan ini tidak banyak memberi
bekas dalam pemikiran Ronggowarsito.
Ronggowarsito yang
hidup semenjak tahun 1802 sampai tahun 1873, dengan sendirinya mengalami
berbagai macam pergolakan dan perubahan-perubahan suasana politik dalam
lingkungan istana. Setiap perubahan sikap politik dalam hubungan
dengan pemerintahan kolonial Belanda, langsung atau tidak langsung pasti
mempengaruhi kedudukan pejabat-pejabat istana.
Karena melihat korupsi
yang terjadi di istana dan masyarakat, serta berbagai tindakan amoral dan
keadaan yang memprihatinkan di masyarakatnya, Ronggowarsito yang berperan
sebagai pujangga istana serta penyambung lidah rakyat kemudian menuliskan keadaan
zamannya tersebut dalam bentuk karya sastra.
Menurut Ronggowarsito,
ada tiga macam pembagian zaman. Yakni zaman edan atauKalatidha yaitu
ditandai dengan adanya pola pikir yang salah. Hal ini diungkapkan dalamSerat
Kalatidha sebagai berikut:
Amenangi jaman
edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya
kaduman melik/kaliren wekasanipun/dilalah karsa Allah/begja-begjane kang
lali/luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya:
Mengalami zaman gila,
serba sulit dalam pemikiran, ikut menggila tidak tahan, kalau tidak ikut
(menggila), tidak (akan) mendapat bagian, akhirnya (mungkin) kelaparan,
(tetapi) takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya (orang) yang lupa, (masih)
bahagia yang sadar dan waspada.
Kemudian akan diiukuti
oleh Zaman Kalabendu yaitu moralitas semakin merosot
disebabkan oleh pola pikir yang salah. Hal ini terdapat dalam Serat
Sabda Jati sebagai berikut:
Para janma jaman
pakewuh, kasudranira andadi,
daurune saya ndarung,
keh tyas mirong murang
margi,
kasetyan wus ora katon.
Orang-orang dalam
zaman pakewuh (edan), kerendahan budinya makin menjadi-jadi,
kekacauan bertambah, banyak orang berhati sesat (buruk), melanggar peraturan
yang benar, kesetiaan sudah tiada terlihat.
Yen kang uning marang
sajatining kawruh,
kewuhan sajroning ati
yen tan niru ora arus,
uripe kaesi-esi,
yen nirua dadi asor.
Bagi orang yang tahu
akan kebenaran, dalam hati terasa ewuh (bingung), apabila tidak turut berbuat
sesat, hidupnya akan menjadi merana, kalau ikut menjadi rendah budi pekertinya.
Nora ngandel marang
gaibing Hyang Agung,
anggelar sakalir-kalir,
kalamun temen tinemu,
kabegjane anekani,
kemurahaning Hyang
Manon.
Tindakan seperti itu,
berarti tak percaya akan kemurahan dan kekuasaan Tuhan, yang menciptakan
segala-galanya. Apabila memohon dengan bersungguh hati, pasti mendapat anugerah
dari kemurahan Tuhan.
Anuhoni kabeh kang duwe
panyuwun,
yen temen-temen
sayekti,
Allah aparing pitulung,
nora kurang sandhang
bukti,
saciptanira kalakon.
Tuhan mengabulkan semua
permohonan, apabila disertai kesungguhan, Allah pasti memberi pertolongan,
tidak akan kekurangan makan serta pakaian. Segala yang diingini akan
terlaksana.
Lalu kemudian akan
muncul Zaman Kalasuba atau zaman keemasan. Datangnya masa
keemasan sebagai akhir kalabendu, terdapat dalam Serat
Jakalodhang, sebagai berikut:
Sangkalane maksih
nunggal jamanipun,
neng sajroning madya
akir,
Wiku sapta ngesthi
ratu,
ngadil pari marmeng
dasih,
ing kono karsaning
Manon.
Ciri waktu pada zaman
itu, yakni pada pertengahan, dengan ciri tahun; wiku sapta ngesthi ratu. Itulah
masa keadilan dan kemakmuran yang merata, demikian kehendak Tuhan.
Tinemune wong ngantuk
anemu kethuk,
malenuk samargi-margi,
marmane bungah kang
nemu,
marga jroning kethuk
isi,
kancana sosotya abyor.
Waktu itu orang yang
sedang mengantuk, sambil duduk saja mendapat kethuk (menemukan benda). Kethuk
itu terdapat di sepanjang jalan-jalan. Orang yang mendapat riang-gembira,
lantaran di dalamnya berisi emas permata yang bergemerlapan.
Itulah sekilas
pemikiran Ronggowarsito mengenai zaman edan yang dituangkan
dalam beberapa karya sastranya. Di dalam karya tersebut terdapat banyak sekali
ajaran moral yang dapat diterapkan dalam konteks zaman sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar