MENGENAL
SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
Syafruddin
Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir
di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal
di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77
tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang
juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia diYogyakarta jatuh
ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada
tanggal 19 Desember 1948.
Masa Muda dan Pendidikan
Tokoh
yang lahir di Anyar Kidul yang memiliki nama kecil "Kuding", yang
berasal dari kata Udin pada nama Syariffudin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu
dan Sunda Minangkabau dari
pihak ayah. Buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, masih keturunan
raja Pagaruyung di Sumatera
Barat, yang dibuang ke Banten karena
terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan
Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad
Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat
dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.
Syafruddin
menempuh pendidikan ELS pada
tahun 1925,
dilanjutkan ke MULO di Madiun pada
tahun 1928,
dan AMS di Bandungpada
tahun 1931.
Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi
Hukum) di Jakarta (sekarang
Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih
gelar Meester in de Rechten (saat ini
setara dengan Magister Hukum).
Pra-kemerdekaan
Sebelum
kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada
Departemen Keuangan Belanda (1940-1942),
serta pegawai Departemen Keuangan Jepang.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas
sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pemerintah Darurat RI
Syafruddin
adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk
Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi
Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda kePulau Bangka,
1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.
Atas
usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia.
Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan
kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan
sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah
menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi
terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Jabatan Pemerintahan
Syafrudin
Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan,
dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada
tahun 1946,
Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri
Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah
terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.
Seusai
menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri
Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan
uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan
moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
Syafruddin
kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada
tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir,
yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.
Keterlibatan dalam PRRI
Pada
awal tahun 1958, PRRI berdiri akibat
ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang
terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat.
Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk Kabinet
tandingan sebagai Jawaban atas dibentuknya kabinet Ir Juanda, di Jawa. Kabinet
PRRI berbasis di Sumatera Tengah. PRRI masih tetap mengakui Soekarno sebagai
Presiden PRRI, karena ia diangkat secara konstitusional.
Pada
bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di
Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung
dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian
amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk
PRRI.
Pimpinan Masyumi (1960)
Masa Tua
Syafrudin
Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun
berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada bulan Juni
1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404
H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam aktivitas
keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI).
Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah,
antar lain:
Anggota
Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal
dengan nama PPM Manajemen(1958)
Anggota
Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
Ketua
Korps Mubalig Indonesia (1984-??)
Ia
juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur
utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin
Prawiranegara meninggal di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77
tahun.
"Saya
ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut
kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".
Keluarga
Syafruddin
menikah dengan Tengku
Halimah Syehabuddinn. Mereka memiliki delapan orang anak, dan
sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagaibayi tabung pertama
keluarga Indonesia, 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar