MENGENAL LEBIH
DEKAT PEMIKIRAN
SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
Jakarta –
Acara peringatan seabad Mr. Syafruddin Prawiranegara seolah ingin
mengukuhkan salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan tersebut sebagai presiden
RI ke-2. Mr Sjafruddin adalah presiden RI yang terlupakan.
Peringatan
seabad Mr Sjafruddin (1911-2011), digelar di Gedung Chandra Bank Indonesia
(BI), Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (28/2/2011).
Hadir
dalam kesempatan tersebut Wakil Presiden Boediono mewakili Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang sedang berhalangan karena baru pulang dari luar
negeri. Hadir pula pimpinan lembaga negara seperti Ketua MPR Taufiq Kiemas,
Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, dan Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) Mahfudz MD, dan Seskab Dipo Alam.
Keluarga
almarhum Mr Sjafruddin pun juga diundang dalam acara tersebut, di antaranya
sang putra Farid Sjafruddin. Bertindak sebagai Ketua Panitia Peringatan seabad
Mr Sjafruddin adalah mantan Wakil Ketua MPR AM Fatwa.
Sejak
dimulai, pembawa acara Sandrina Malakiano menegaskan kepada audiens bahwa
sebelum Presiden SBY, bukan cuma ada 6 presiden yang mendahului, melainkan 7
presiden termasuk Mr Sjafruddin. Sejak merdeka, Indonesia mempunyai 7 presiden,
11 wakil presiden, 13 perdana menteri, dan 41 kabinet.
“Mr
Sjafruddin adalah presiden Indonesia yang terlupakan,” kata mantan
presenter TV tersebut.
Mr
Sjafruddin dinilai layak disebut Presiden karena pernah
menjadi Ketua/Presiden Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) tahun 1948. Saat itu, terjadi Agresi Militer Belanda ke
II saat Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta ditawan oleh penjajah.
Mr
Sjafruddin, yang tengah berada di Sumatera Barat (Sumbar), memproklamirkan
berdirinya PDRI untuk menyelamatkan nafas NKRI yang baru berumur 3 tahun. Mr
Sjafruddin juga yang mengupayakan perjanjian Room-Royen yang mengakhiri
pendudukan Belanda dan dibebaskannya tokoh proklamator Soekarno-Hatta. Tanggal
13 Juli 1949, setelah kurang lebih 209 hari memimpin PDRI, Mr Sjafruddin
menyerahkan mandatnya kepada Soekarno-Hatta.
“Mr
Sjafruddin adalah penyelamat republik. Oleh Bung Hatta, beliau disebut sebagai
presiden darurat,” kata AM Fatwa atas penyandangan gelar ‘presiden’ Mr
Sjafruddin yang hingga kini masih debatable itu.
Mr
Sjafruddin lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911, merupakan anak dari
seorang jaksa bernamaArsyad Prawiraatmadja. Mr Sjafruddin menempuh pendidikan
di ELS pada tahun 1925, MULO di Madiun tahun 1928, dan AMS Bandung tahun 1931.
Pendidikan tingginya adalah Rechtshogeshool Jakarta (sekarang Fakultas Hukum
Uviversitas Indonesia) tahun 1939 dan berhasil meraih Meesterning de Rechten
(Magister Hukum).
Mr
Sjafruddin adalah anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas
mempersiapkan garis besar haluan negara RI sebelum merdeka. Mr Sjafruddin
adalah pejabat menteri keuangan pertama RI (1946), dan Menteri Kemakmuran
(1947). Setelah PDRI yang diketuainya menyerahkan mandat, ia sempat diangkat
sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1949. Ia kembali diangkat menjadi
Menkeu di kabinet Hatta pada Maret 1950 dan menelurkan kebijakan yang cukup
terkenal saat itu, yakni pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas (Gunting
Sjafruddin).
Ia
kemudian menjabat sebagai Gubernur BI yang pertama tahun 1951. Setelah itu, Mr
Sjafruddin memilih bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) yang juga berbasis di Sumatera, sebuah gerakan untuk menentang kebijakan
presiden Soekarno. Gara-gara sikapnya yang berlawanan tersebut, ia sempat
dipenjarakan oleh Soekarno tanpa proses pengadilan.
Berdasarkan
agenda kegiatan yang dibagikan kepada wartawan, ada beberapa buku yang akan
diterbitkan menyambut 1 abad Mr Sjafruddin ini. Di antaranya adalah “Sjafruddin
Prawiranegara Lebih Takut kepada Allah,” dan “.”Presiden Prawiranegara, Kisah
209 hari Mr Sjafruddin Memimpin Indonesia“.
Selain
itu digelar pula seminar mengenai sosok Mr. Sjafruddin di berbagai kota mulai
pertengahan Maret hingga Juni 2011. Panitia juga membuat film dokumenter
tentang Mr Sjafruddin.
Mengenal
lebih dekat sosok Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Syafruddin
Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di
Banten, 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik
Indonesia yang juga pernah menjabat
sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan
Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Di
masa kecilnya akrab dengan panggilan “Kuding“, dalam tubuh Syafruddin mengalir
darah campuranBanten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan,
masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten
karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah
kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja.
Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat
dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding,
yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki
cita-cita tinggi — “Ingin menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya ia
masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di
Jakarta (Batavia).
Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia.
”
Kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI
untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra ”
Ketika
Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19
Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, “Kami,
Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember
1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta.
Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi,
kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI
untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.
Telegram
tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi
pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa
tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar
pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari,
Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di
sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia
mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government).
Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara
Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala
pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”.
Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki “penyelamat Republik”. Dengan
mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan
Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti
Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara
menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri.
Meskipun istilah yang digunakan waktu itu “ketua”, namun kedudukannya sama
dengan presiden.
Sjafruddin
menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli
1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama
kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai
negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang
ingin kembali berkuasa.
Setelah
menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin
Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri
keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia
melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya
tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan
julukan Gunting Syafruddin.
PRRI
Akibat
ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena ketimpangan-ketimpangan sosial
yang terjadi dan juga pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat,
pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya
mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di
sumatera tengah dan ia di tunjuk sebagai Presidennya.
Dakwah
Setelah
bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin
Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa
tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini
dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi
khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok,
Jakarta.
“Saya
ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut
kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar ketua Korp Mubalig
Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Di
tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih
sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur
utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin
Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir,
Jakarta Selatan.
Biodata
Nama
lengkap : Mr. Syafruddin Prawiranegara
Nama kecil : Kuding
Lahir : 28 Februari 1911
Meninggal : 15 Februari 1989 (umur 77)
Ayah : Arsyad Prawiraatmadja
Istri : T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Agama : Islam
Ketua/Presiden
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Masa jabatan : 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Pendidikan:
ELS
(1925)
MULO,Madiun (1928)
AMS, Bandung (1931)
Rechtshogeschool, Jakarta (1939)
Karir:
Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940)
Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942)
Pegawai Departemen Keuangan Jepang
Anggota Badan Pekerja KNIP (1945)
Wakil Menteri Keuangan (1946)
Menteri Keuangan (1946)
Menteri Kemakmuran (1947)
Perdana Menteri RI (1948)
Presiden Pemerintah Darurat RI (1948)
Wakil Perdana Menteri RI (1949)
Menteri Keuangan (1949-1950)
Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951)
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM)
(1958)
Pimpinan Masyumi (1960)
Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984 – 1989 )
Catatan: Diolah
dari berbagai sumber
sumber: