Jumat, 19 Desember 2014

BAGAIMANAKAH CARA BERPIKIR SEHAT ALA FILSUF? Temukan jawabannya disini.

Tahukah Anda, bagaimana cara berpikir para filsuf dalam menangani suatu permasalahan?. Ternyata menurut Habibi (2011) dalam bukunya Filsafat Sains, Sebuah Pengantar menjelaskan dua cara pokok para filsuf dalam berpikir sehat yaitu :

1. Berpikir deduktif
Dalam cara ini, kesimpulan, informasi atau jawaban yang didapatkan berkaitan dengan suatu kasus yang kita hadapi terlebih dahulu dikonfirmasikan dengan suatu kebenaran umum terkait yang sudah dapat dipastikan kebenarannya (kita terima, dan diterima oleh oleh orang banyak). Konfirmasi tersebut akan menghasilkan kesimpulan yang juga dapat kita yakini kebenarannya.

2. Berpikir Induktif
Dalam cara ini, jawaban dan kesimpulan kita peroleh dengan cara mengumpulkan fakta-fakta sebanyak mungkin mengenai kasus yang dihadapi. Pola informasi dari fakta-fakta tersebut akan menghasilkan jawaban yang teruji karena berdasarkan fakta. Pengumpulan fakta tersebut umumnya kita dapatkan melalui observasi.

Berpikir dengan sehat akan menghasilkan pribadi dan karakter yang juga sehat. Selain itu kompetensi anda dalam suatu bidang akan menjadi benar-benar meningkat dengan pesat. Coba dan buktikan prinsip ini.

Kasus untuk dipikirkan:
Coba anda renungkan berbagai peristiwa yang anda alami dalam rutinitas hidup sehari-hari, Kondisi dan kebiasaan seperti apa yang menghambat seseorang untuk berpikir sehat ala filsuf ini. Nikmati pengalaman berpikir anda dan mari kita berbagi!

Desain Banner KSF PGSD 3A/6


Kamis, 18 Desember 2014

CERITA SEORANG FILSUF YANG MEMBINGUNGKAN

Seorang Filsuf atau ahli Filsafat adalah seseorang yang terkadang terlihat aneh dengan segala yang ada dalam otak dan pemikirannya. Permainan kata, definisi dan analogi menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari seorang filsuf. Karena itulah tidak jarang kita menjadi semakin bingung dan bertanya-tanya tentang penjelasan dan alasan mereka. Namun bagaimana jika 2 orang filsuf sedang beradu Argumen namun dengan menggunkan jasa pelayannya yang bodoh ? Siapakah yang akan nampak aneh dan bodoh dalam cerita seorang ahli filsafat atau filsuf ini ? Berikut kilasan cerita nya.

Ada 2 orang ahli filsafat atau filsuf yang sudah lama tidak saling menyapa karena terdapat masalah diantara mereka berdua. Namun karena sesuatu hal maka salah seorang filsuf ( sebut saja Filsuf A ) harus melakukan komunikasi dengan yang filsuf yang lainnya ( sebut saja Filsuf B ). Tapi karena masih ada gengsi dari keduanya, maka seorang ahli filsafat ( Filsuf A ) ini mengutus pelayanannya ( sebut saja pelayan A ) untuk bertemu dengan Filsuf B. Pesan dari Filsuf A kepada pelayannya adalah menanyakan apakah Filsuf B mau bertemu dengannya untuk membicarakan masalah yang saat ini terjadi.

Lalu dengan langkah gontai tak berarah bagai Pesawat Tempur yang kena Bongkar Umar Bakrie ( kok jadi lagunya iwan fals ) si pelayanan A segera mendatangi rumah Filsuf B. Sesampai disana ia diterima oleh pelayan Filsuf B ( sebut saja pelayan B ) dan segera menyampaikan pesan dari majikannya. Si pelayan B lalu mengonfirmasikan berita itu kepada Filsuf B yang adalah majikannya. Namun Filsuf B memberi mandat agar mengatakan kepada pelayan A bahwa ia sedang tidak berada dirumah. Si pelayan B kemudian menemui pelayan A dan meyampaikan bahwa majikannya tidak berada dirumah saat ini. Lalu pulanglah pelayan A menuju rumah majikannya kembali dan memberi tahu bahwa menurut pengakuan pelayan dari Filsuf B bahwa Filsuf B tidak berada ditempat.

Namun ahli filsafat A tidak mempercayai berita tersebut dan leih percaya bahwa Filsuf B masih berada didalam rumahnya dan tidak sedang pergi kemana-mana. Berangkatlah sendiri Filsuf A menuju kediaman Filsuf B dengan tujuan agar bertemu dengan Filsuf B. Sesampai dirumah Filsuf B ia melihat filsuf B sedang duduk-duduk membaca koran di teras rumahnya. Lalu dengan agak geram Filsuf A mengatakan ke Filsuf B "Mengapa pelayanmu tadi mengatakan kepada pelayan saya bahwa kamu tidak ada padahal kamu saat ini sedang membaca koran di teras rumah mu ?" Si ahli Fulsafat B pun menanggapi hal tersebut menggunakan bahasa filsafat nya "Kamu ternyata lebih bodoh dari pelayanmu. Jika tadi hanya pelayan saya yang mengatakan kepada pelayanmu bahwa saya tidak ada dan pelayanmu percaya bahwa saya tidak ada, lalu kenapa kamu saat ini tidak bisa percaya bahwa saya tidak ada padahal yang menyampaikan saya tidak ada itu adalah saya sendiri ?" Filsuf A terheran-heran mendengar jawaban dari Filsuf B.

Kamis, 11 Desember 2014

MENGENAL LEBIH DEKAT PEMIKIRAN SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

MENGENAL LEBIH DEKAT PEMIKIRAN
 SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

Jakarta – Acara peringatan seabad Mr. Syafruddin Prawiranegara seolah ingin mengukuhkan salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan tersebut sebagai presiden RI ke-2. Mr Sjafruddin adalah presiden RI yang terlupakan.

Peringatan seabad Mr Sjafruddin (1911-2011), digelar di Gedung Chandra Bank Indonesia (BI), Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (28/2/2011).
Hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Presiden Boediono mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sedang berhalangan karena baru pulang dari luar negeri. Hadir pula pimpinan lembaga negara seperti Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfudz MD, dan Seskab Dipo Alam.
Keluarga almarhum Mr Sjafruddin pun juga diundang dalam acara tersebut, di antaranya sang putra Farid Sjafruddin. Bertindak sebagai Ketua Panitia Peringatan seabad Mr Sjafruddin adalah mantan Wakil Ketua MPR AM Fatwa.


Sejak dimulai, pembawa acara Sandrina Malakiano menegaskan kepada audiens bahwa sebelum Presiden SBY, bukan cuma ada 6 presiden yang mendahului, melainkan 7 presiden termasuk Mr Sjafruddin. Sejak merdeka, Indonesia mempunyai 7 presiden, 11 wakil presiden, 13 perdana menteri, dan 41 kabinet.
“Mr Sjafruddin adalah presiden Indonesia yang terlupakan,” kata mantan presenter TV tersebut.
Mr Sjafruddin dinilai layak disebut Presiden karena pernah menjadi Ketua/Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948. Saat itu, terjadi Agresi Militer Belanda ke II saat Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta ditawan oleh penjajah.
Mr Sjafruddin, yang tengah berada di Sumatera Barat (Sumbar), memproklamirkan berdirinya PDRI untuk menyelamatkan nafas NKRI yang baru berumur 3 tahun. Mr Sjafruddin juga yang mengupayakan perjanjian Room-Royen yang mengakhiri pendudukan Belanda dan dibebaskannya tokoh proklamator Soekarno-Hatta. Tanggal 13 Juli 1949, setelah kurang lebih 209 hari memimpin PDRI, Mr Sjafruddin menyerahkan mandatnya kepada Soekarno-Hatta.
“Mr Sjafruddin adalah penyelamat republik. Oleh Bung Hatta, beliau disebut sebagai presiden darurat,” kata AM Fatwa atas penyandangan gelar ‘presiden’ Mr Sjafruddin yang hingga kini masih debatable itu.

Mr Sjafruddin lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911, merupakan anak dari seorang jaksa bernamaArsyad Prawiraatmadja. Mr Sjafruddin menempuh pendidikan di ELS pada tahun 1925, MULO di Madiun tahun 1928, dan AMS Bandung tahun 1931. Pendidikan tingginya adalah Rechtshogeshool Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Uviversitas Indonesia) tahun 1939 dan berhasil meraih Meesterning de Rechten (Magister Hukum).

Mr Sjafruddin adalah anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas mempersiapkan garis besar haluan negara RI sebelum merdeka. Mr Sjafruddin adalah pejabat menteri keuangan pertama RI (1946), dan Menteri Kemakmuran (1947). Setelah PDRI yang diketuainya menyerahkan mandat, ia sempat diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1949. Ia kembali diangkat menjadi Menkeu di kabinet Hatta pada Maret 1950 dan menelurkan kebijakan yang cukup terkenal saat itu, yakni pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas (Gunting Sjafruddin).
Ia kemudian menjabat sebagai Gubernur BI yang pertama tahun 1951. Setelah itu, Mr Sjafruddin memilih bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang juga berbasis di Sumatera, sebuah gerakan untuk menentang kebijakan presiden Soekarno. Gara-gara sikapnya yang berlawanan tersebut, ia sempat dipenjarakan oleh Soekarno tanpa proses pengadilan.
Berdasarkan agenda kegiatan yang dibagikan kepada wartawan, ada beberapa buku yang akan diterbitkan menyambut 1 abad Mr Sjafruddin ini. Di antaranya adalah “Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut kepada Allah,” dan “.”Presiden Prawiranegara, Kisah 209 hari Mr Sjafruddin Memimpin Indonesia“.

Selain itu digelar pula seminar mengenai sosok Mr. Sjafruddin di berbagai kota mulai pertengahan Maret hingga Juni 2011. Panitia juga membuat film dokumenter tentang Mr Sjafruddin.
  
Mengenal lebih dekat sosok Mr. Sjafruddin Prawiranegara

Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.

Di masa kecilnya akrab dengan panggilan “Kuding“, dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuranBanten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur. 

Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi — “Ingin menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia).
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

” Kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra ”
Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.

Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki “penyelamat Republik”. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden.

Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.


PRRI
Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di sumatera tengah dan ia di tunjuk sebagai Presidennya.

Dakwah
Setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.
“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.

Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Biodata
Nama lengkap : Mr. Syafruddin Prawiranegara
Nama kecil : Kuding
Lahir : 28 Februari 1911
Meninggal : 15 Februari 1989 (umur 77)
Ayah : Arsyad Prawiraatmadja
Istri : T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Agama : Islam
Ketua/Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Masa jabatan : 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Pendidikan:
ELS (1925)
MULO,Madiun (1928)
AMS, Bandung (1931)
Rechtshogeschool, Jakarta (1939)
Karir:
Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940)
Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942)
Pegawai Departemen Keuangan Jepang
Anggota Badan Pekerja KNIP (1945)
Wakil Menteri Keuangan (1946)
Menteri Keuangan (1946)
Menteri Kemakmuran (1947)
Perdana Menteri RI (1948)
Presiden Pemerintah Darurat RI (1948)
Wakil Perdana Menteri RI (1949)
Menteri Keuangan (1949-1950)
Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951)
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM) (1958)
Pimpinan Masyumi (1960)
Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984 – 1989 )
Catatan: Diolah dari berbagai sumber
sumber:

SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

MENGENAL SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di SerangBanten28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia diYogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.


Masa Muda dan Pendidikan

Tokoh yang lahir di Anyar Kidul yang memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal dari kata Udin pada nama Syariffudin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah. Buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.
Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandungpada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).

Pra-kemerdekaan

Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Pemerintah Darurat RI

Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda kePulau Bangka, 1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Jabatan  Pemerintahan

Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.
Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.

Keterlibatan dalam PRRI

Pada awal tahun 1958PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk Kabinet tandingan sebagai Jawaban atas dibentuknya kabinet Ir Juanda, di Jawa. Kabinet PRRI berbasis di Sumatera Tengah. PRRI masih tetap mengakui Soekarno sebagai Presiden PRRI, karena ia diangkat secara konstitusional.
Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.

Politik
Pimpinan Masyumi (1960)
Masa Tua

Syafrudin Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, antar lain:
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen(1958)
Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-??)
Ia juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara meninggal di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".

Keluarga


Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddinn.  Mereka memiliki delapan orang anak, dan sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagaibayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981

Rabu, 10 Desember 2014

RONGGO WARSITO

MENGENAL RONGGO WARSITO

 
Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di SurakartaJawa Tengah15 Maret 1802 – meninggal di Surakarta,Jawa Tengah24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.

Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.

Riwayat Masa Muda
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.

Puncak Kejayaan Karier
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian. Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.

Misteri Kematian

Patung Rangga Warsita di depan museum Radya Pustaka, Surakarta

Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukungPangeran Diponegoro. Konon, sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubunganPakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
  
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajatiyang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan TrucukKabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.

Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:


amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.


Yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada


Dari karya-karya Ronggowarsito, akan kelihatan bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kepustakaan Islam kejawen, tradisi dan kepustakaan Jawa.  Pembahasan dan pemikiran Ronggowarsito, terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok pemikiran yang terdapat dalam perbendaharaan kepustakaan Jawa dan Islam kejawen. Sehingga karya-karya Ronggowarsito pada umumnya mencerminkan perpaduan antara alam pikiran Jawa dengan ajaran Agama Islam. Karena kehidupan Ronggowarsito dan pujangga-pujangga Jawa pada umumnya berada dalam kedua lingkungan kebudayaan tersebut, sesudah zaman kerajaan Jawa-Islam. Walaupun pada hari-hari tuanya Ronggowarsito banyak bergaul dengan sarjana-sarjana Belanda yang mempunyai perhatian terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa, seperti dengan C.F. Winter, Cohen Stuart dan sebagainya. Tetapi, pergaulan ini tidak banyak memberi bekas dalam pemikiran Ronggowarsito.

Ronggowarsito yang hidup semenjak tahun 1802 sampai tahun 1873, dengan sendirinya mengalami berbagai macam pergolakan dan perubahan-perubahan suasana politik dalam lingkungan istana.  Setiap perubahan sikap politik dalam hubungan dengan pemerintahan kolonial Belanda, langsung atau tidak langsung pasti mempengaruhi kedudukan pejabat-pejabat istana.

Karena melihat korupsi yang terjadi di istana dan masyarakat, serta berbagai tindakan amoral dan keadaan yang memprihatinkan di masyarakatnya, Ronggowarsito yang berperan sebagai pujangga istana serta penyambung lidah rakyat kemudian menuliskan keadaan zamannya tersebut dalam bentuk karya sastra.
Menurut Ronggowarsito, ada tiga macam pembagian zaman. Yakni zaman edan atauKalatidha yaitu ditandai dengan adanya pola pikir yang salah. Hal ini diungkapkan dalamSerat Kalatidha sebagai berikut:
Amenangi jaman edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/boya kaduman melik/kaliren wekasanipun/dilalah karsa Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya:
Mengalami zaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut menggila tidak tahan, kalau tidak ikut (menggila), tidak (akan) mendapat bagian, akhirnya (mungkin) kelaparan, (tetapi) takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya (orang) yang lupa, (masih) bahagia yang sadar dan waspada.
Kemudian akan diiukuti oleh Zaman Kalabendu yaitu moralitas semakin merosot disebabkan oleh pola pikir yang salah. Hal ini terdapat dalam Serat Sabda Jati sebagai berikut:

Para janma jaman pakewuh, kasudranira andadi,
daurune saya ndarung,
keh tyas mirong murang margi,
kasetyan wus ora katon.
Orang-orang dalam zaman pakewuh (edan), kerendahan budinya makin menjadi-jadi, kekacauan bertambah, banyak orang berhati sesat (buruk), melanggar peraturan yang benar, kesetiaan sudah tiada terlihat.
Yen kang uning marang sajatining kawruh,
kewuhan sajroning ati yen tan niru ora arus,
uripe kaesi-esi,
yen nirua dadi asor.
Bagi orang yang tahu akan kebenaran, dalam hati terasa ewuh (bingung), apabila tidak turut berbuat sesat, hidupnya akan menjadi merana, kalau ikut menjadi rendah budi pekertinya.
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung,
anggelar sakalir-kalir,
kalamun temen tinemu,
kabegjane anekani,
kemurahaning Hyang Manon.

Tindakan seperti itu, berarti tak percaya akan kemurahan dan kekuasaan Tuhan, yang menciptakan segala-galanya. Apabila memohon dengan bersungguh hati, pasti mendapat anugerah dari kemurahan Tuhan.
Anuhoni kabeh kang duwe panyuwun,
yen temen-temen sayekti,
Allah aparing pitulung,
nora kurang sandhang bukti,
saciptanira kalakon.
Tuhan mengabulkan semua permohonan, apabila disertai kesungguhan, Allah pasti memberi pertolongan, tidak akan kekurangan makan serta pakaian. Segala yang diingini akan terlaksana.
Lalu kemudian akan muncul Zaman Kalasuba atau zaman keemasan. Datangnya masa keemasan sebagai akhir kalabendu, terdapat dalam Serat Jakalodhang, sebagai berikut:
Sangkalane maksih nunggal jamanipun,
neng sajroning madya akir,
Wiku sapta ngesthi ratu,
ngadil pari marmeng dasih,
ing kono karsaning Manon.
Ciri waktu pada zaman itu, yakni pada pertengahan, dengan ciri tahun; wiku sapta ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang merata, demikian kehendak Tuhan.

Tinemune wong ngantuk anemu kethuk,
malenuk samargi-margi,
marmane bungah kang nemu,
marga jroning kethuk isi,
kancana sosotya abyor.
Waktu itu orang yang sedang mengantuk, sambil duduk saja mendapat kethuk (menemukan benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan-jalan. Orang yang mendapat riang-gembira, lantaran di dalamnya berisi emas permata yang bergemerlapan.
Itulah sekilas pemikiran Ronggowarsito mengenai zaman edan yang dituangkan dalam beberapa karya sastranya. Di dalam karya tersebut terdapat banyak sekali ajaran moral yang dapat diterapkan dalam konteks zaman sekarang ini.




PPT Aliran Idealisme

Kamis, 04 Desember 2014

TANGERANG "Benteng"



ASAL-USUL
TANGERANG

Historia

Nama Tangerang di Buku Pelayaran Portugis 1527

Ada pengetahuan yang umum diketahui oleh masyarakat Tangerang, tentang asal usul nama Tangerang. Pengetahuan yang diwariskan turun- temurun itu menyebutkan, Tangerang berasal dari dua kata berbahasa Sunda: tengger dan perang.

Tengger atau tetengger memiliki makna tanda tempat. Sementara, perang berarti peperangan atau pertempuran.
Konon, menurut pengetahuan masyarakat itu pula disebutkan, tanda (tengger) yang dimaksud adalah serupa tugu atau batas wilayah. Membicarakan tugu itu, cerita masyarakat pun berlanjut pada sebuah batas kekuasaan Sultan Banten di sebelah Barat Sungai Cisadane, dengan wilayah yang dikuasai Kompeni Belanda yang ada di sebalah timur Sungai Cisadane.

Tak disebutkan tahun persis, yang bisa merujuk pada pembentukan tugu dan cerita Kesultanan Banten, juga Kompeni Belanda ini.

Namun, masyarakat meyakini bahwa tugu (tengger) yang dimaksud adalah berada di sekitar Pos Gerendeng—sekarang Jalan Otto Iskandar Dinata—persisnya di pertigaan Pasar Baru-Mauk, Gerendeng, dan Jembatan yang tembus ke Jalan Daan Mogot.

Berkaitan dengan cerita yang berkembang di tengah masyarakat tersebut, Buku Sejarah Tangerang yang dikeluarkan oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata Kabupaten Tangerang, tahun 2010 menyimpulkan, sesungguhnya penduduk Tangerang dan Jakarta dahulu lebih mengenal Tangerang dengan sebutan Benteng.

Sedang, istilah Tangerang sebagai nama Daerah baru dikenal masyarakat luas sekitar tahun 1712 (Thohiruddin, 1971:22). Nah, berangkat dari latar belakang cerita masyarakat dan kajian yang dilakukan Dispora Budpar Kabupaten Tangerang itu, redaksi ingin menambahkan hasil penelusuran pustaka yang dilakukan redaksi secara sederhana, mengenai nama Tangerang ini.

Yang dijadikan sumber oleh Banten Hits.com kali ini adalah buku “Banten, Sejarah Peradaban Abad X-XVII”, karya Claude Guillot (2008). Dalam salah satu Bab di buku tersebut, Guillot menuliskan tentang perjanjian antara Portugis dan Sunda tahun 1522. Dalam Bab itu, sejumlah fakta otentik berupa surat-surat, perjanjian, peta, dan buku yang dibuat pada zaman nya, ditampilkan lengkap dengan keterangan.

Salah satu dokumen yang disebutkan Guillot, adalah buku pedoman pelayaran sekitar tahun 1528 dan akta notaris tahun 1527.
Kedua dokumen itu menyebutkan, sebuah armada Portugis melakukan ekspedisi Francisco de sa pada tahun 1527. Mereka berlayar dari arah Barat menyusuri ke arah timur.

Dalam pelayaran itu, Francisco de sa memasang sebuah tugu peringatan di sebuah sungai yang airnya mengalir ke laut. Tempat tugu itu dipasang, oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan Cidigy.

RPP Kelas V - Tema 1 Sub.Tema 1 Pemb.1

                               RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) KURIKULUM 2013 REVISI 2018    TEMA 1 ....